Pertanyaan
Selama ini di masyarakat telah berlangsung sunat bagi anak laki-laki, sedangkan sunat bagi anak perempuan ada yang melakukannya tapi juga ada yang tidak melakukannya. Sebenarnya bagaimana hukumnya sunat bagi perempuan?
Maryamah, Jawa-Barat
Jawaban
Ajaran Islam (syari’ah Islamiyah) yang diturunkan Allah SWT adalah merupakan bentuk dari kasih-sayangNya kepada umat manusia. Ajaran tersebut pada umumnya sesuai dan sejalan dengan fitrah umat manusia. Salah satu contohnya adalah ajaran tentang khitan, yang sangat sejalan dengan fitrah manusia, sesuai sabda rasul SAW
خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
“Lima perkara yang merupakan fitrah manusia : 1. sunat (khitan), 2. al-Istihdad (mencukur rambut pada sekitar kemaluan), 3. memotong kumis, 4. mencukur bulu ketiak, dan 5. menggunting kuku. (HR Jama’ah dari Abu Hurairah r.a.).
Khitan yang juga sebagai salah satu syi’ar agama Islam mempunyai banyak hikmah; misalnya dari sisi medis, khitan bisa membersihkan organ tubuh kita. Daerah kemaluan yang cenderung lembab dan ‘rawan tidak bersih’ karena kemungkinan tertinggalnya sisa air kencing, dapat diminimalkan dengan dikhitan, sehingga bisa lebih bersih, dan dengan begitu dapat terhindar dari penyakin kulit. Selain itu, dengan dikhitan umat manusia juga semakin bisa merasakan nikmatnya, maaf, bersenggama. Karena saraf-saraf sensitif di sekitar kemaluan tidak terhalang oleh kulit katup kemaluan, sehingga dapat menimbulkan sensasi lebih ketika bersetubuh (iltiqa al-khitanain).
Pada mulanya, ajaran berkhitan adalah syariat yang dibawa oleh nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Kemudian diteruskan oleh agama Islam. Perlu diketahui, bahwa setiap ajaran yang dibawa oleh nabi terdahulu (syar’u man qablana), kemudian disyariatkan lagi dengan dimuat dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, maka ajaran tersebut juga menjadi ajaran umat Islam. Dalam hal khitan ini, rasulullah SAW. telah menganjurkannya sebagaimana termuat dalam hadis di atas, sehingga syariat berkhitan yang awalnya menjadi syariat umat nabi Ibrahim AS. dengan begitu juga menjadi syariat umat Muhammad SAW.
Sedangkan dari sisi hukumnya, para ulama sepakat bahwa berkhitan wajib hukumnya bagi laki-laki, dan sangat dianjurkan hingga mendekati wajib (makramah) bagi perempuan. Ketentuan hukum khitan ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah sbb :
فَأَمَّا الْخِتَانُ فَوَاجِبٌ عَلَى الرِّجَالِ ، وَمَكْرُمَةٌ فِي حَقِّ النِّسَاءِ ، وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَيْهِنَّ .
“Khitan itu wajib bagi laki-laki, sedangkan bagi perempuan adalah suatu kemuliaan/kebaikan, tidak wajib bagi mereka” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, [Kairo : Maktabah al-Qohiroh, TT], h. 64)
Khusus terkait dengan khitan bagi perempuan banyak kalangan yang menyatakan bahwa hal tersebut bisa melanggar hak asasi manusia, karena bisa berdampak negatif bagi si perempuan tersebut dan dapat menghalangi reaksi seksual bagi perempuan yang dikhitan.
Sebenarnya persangkaan seperti itu muncul karena ketidak fahaman terhadap ajaran Islam. Agama Islam mengajarkan kepada kita untuk berperilaku proporsional. Salah satunya adalah bagaimana bisa mengendalikan diri, termasuk mengendalikan hawa nafsu. Khitan bagi perempuan diharapkan bisa menjadi rem bagi perempuan untuk mengontrol hawa nafsunya. Karena menurut riwayat yang shahih, hawa nafsu perempuan berlipat lebih besar daripada laki-laki, walaupun hal tersebut bisa ditutupi oleh perasaan malunya yang juga lebih besar daripada laki-laki. Seandainya rasa malu sudah menjadi suatu hal yang dianggap tidak penting bagi perempuan, maka bisa dibayangkan akan seperti apa jadinya tatanan sosial yang ada, karena pada dasarnya laki-laki adalah makhluk yang rapuh sekali dalam menghadapi rayuan perempuan. Maka sekarang hasilnya sudah mulai terlihat, di mana seks bebas telah menggejala di hampir semua negara, terutama di kota-kota besar.
Di sisi lain, yang harus digaris bawahi, khitan bagi perempuan yang diajarkan oleh syariat Islam bukanlah sebagaimana dipersepsikan orang yang menentangnya. Khitan bagi perempuan menurut ajaran Islam cukup dilakukan dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris, dan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi). Hal ini sebagaimana hadis rasul SAW:
عَنِ الضَّحَّاكِ بن قَيْسٍ، قَالَ: كَانَتْ بِالْمَدِينَةِ امْرَأَةٌ تَخْفِضُ النِّسَاءَ، ُقَالُ لَهَا أُمُّ عَطِيَّةَ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"اخْفِضِي، وَلا تُنْهِكِي، فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ، وَأَحْظَى عِنْدَ الزَّوْجِ".
Dari adh-Dhahhak bin Qais bahwa di Madinah ada seorang ahli khitan wanita yang bernama Ummu ‘Athiyyah, Rasulullah SAW bersabda kepadanya : “khifadhlah (khitanilah) dan jangan berlebihan, sebab itu lebih menceriakan wajah dan lebih menguntungkan suami”. (HR. at-Tabrani dari adh-Dhahhak)
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الْأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
Dari Ummu ‘Athiyyah r.a. diceritakan bahwa di Madinah ada seorang perempuan tukang sunat/khitan, lalu Rasulullah SAW bersabda kepada perempuan tersebut: “Jangan berlebihan, sebab yang demikian itu paling membahagiakan perempuan dan paling disukai lelaki (suaminya)”. (HR. Abu Daud dari Ummu ‘Atiyyah r.a.)
Tata cara khitan bagi perempuan juga telah dibahas oleh para ulama, misalnya yang dijelaskan dalam kitab I’anah at-Thalibin:
(قوله: والمرأة الخ) أي والواجب في ختان المرأة قطع جزء يقع عليه اسم الختان وتقليله أفضل لخبر أبي داود وغيره أنه (ص) قال للخاتنة: أشمي ولا تنهكي فإنه أحظى للمرأة وأحب للبعل أي لزيادته في لذة الجماع،
Yang diwajibkan dalam mengkhitan perempuan adalah memotong bagian yang harus dikhitan. Diutamakan dalam mengkhitan perempuan untuk menggores sedikit saja dari bagian yang harus dikhitan, berdasarkan hadis riwayat Abu Daud dan lainnya: bahwa rasulullah SAW berkata pada tukang khitan perempuan: Khitanlah, dan jangan berlebihan, sebab yang demikian itu paling membahagiakan perempuan dan paling disukai lelaki (suaminya), karena menambah nikmatnya bersenggama.
Prof. Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya “al-fiqh al-islami wa adillatuhu” juga berpendapat senada :
“Khitan pada perempuan ialah memotong sedikit mungkin dari kulit yang terletak pada bagian atas farj (klitoris). Dianjurkan agar tidak berlebihan, artinya tidak boleh memotong jengger yang terletak pada bagian paling atas dari farj, demi tercapainya kesempurnaan kenikmatan waktu bersenggama”. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus : Daar al-Fikr al-Islami] Jilid I, h. 356)
Dengan begitu menjadi jelaslah, bahwa praktik khitan perempuan yang dilakukan secara berlebihan, yang kemudian memicu reaksi PBB sehingga mengeluarkan pelarangan praktik khitan seperti itu, sangatlah tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Majelis Ulama Indonesia juga telah mengeluarkan fatwa tentang Khitan Perempuan ini. Karenanya, saya menganjurkan kepada Anda untuk melihat fatwa tersebut secara lengkap.
Demikian semoga bermanfaat bagi Anda.
Wallahu A’lam.
Comments :
Posting Komentar