a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ Al-Ghina`)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina`) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina`). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-`aal (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘aal jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘aal jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘aal jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan :
Al-ashlu fi al-af’aal al-jibiliyah al-ibahah
“Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Asy Syuwaiki, t.t. : 96).
Maka dari itu, melihat –sebagai perbuatan jibiliyyah—hukum asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan,”Saya akan membunuh si Fulan !” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi SAW bersabda :
“Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman. “ (HR. Imam Muslim, An-Nasa`i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah ).
b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ Al-Ghina`)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama` al-ghina`). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina`). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina`) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina`, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Asy-Syuwaiki, t.t. : 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina`) bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina`) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Asy-Syuwaiki, t.t. : 104). Allah SWT berfirman (artinya) :
“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (QS An-Nisaa` : 140)
“…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (QS Al-An’aam : 68).
PERTANYAAN
Sebagian orang mengharamkan semua bentuk nyanyian dengan alasan firman Allah:
"Dan diantara nnanusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan." (Luqman: 6)
Selain firman Allah itu, mereka juga beralasan pada penafsiran para sahabat tentang ayat tersebut. Menurut sahabat, yang dimaksud dengan "lahwul hadits" (perkataan yang tidak berguna) dalam ayat ini adalah nyanyian. Mereka juga beralasan pada ayat lain:
"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya..." (Al Qashash:55)
Sedangkan nyanyian, menurut mereka, termasuk "laghwu" (perkataan yang tidak bermanfaat).
Pertanyaannya, tepatkah penggunaan kedua ayat tersebut sebagai dalil dalam masalah ini? Dan bagaimana pendapat Ustadz tentang hukum mendengarkan nyanyian? Kami mohon Ustadz berkenan memberikan fatwa kepada saya mengenai masalah yang pelik ini, karena telah terjadi perselisihan yang tajam di antara manusia mengenai masalah ini, sehingga memerlukan hukum yang jelas dan tegas. Terima kasih, semoga Allah berkenan memberikan pahala yang setimpal kepada Ustadz.
JAWABAN
Masalah nyanyian, baik dengan musik maupun tanpa alat musik, merupakan masalah yang diperdebatkan oleh para fuqaha kaum muslimin sejak zaman dulu. Mereka sepakat dalam beberapa hal dan tidak sepakat dalam beberapa hal yang lain. Mereka sepakat mengenai haramnya nyanyian yang mengandung kekejian, kefasikan, dan menyeret seseorang kepada kemaksiatan, karena pada hakikatnya nyanyian itu baik jika memang mengandung ucapan-ucapan yang baik, dan jelek apabila berisi ucapan yang jelek. Sedangkan setiap perkataan yang menyimpang dari adab Islam adalah haram. Maka bagaimana menurut kesimpulan Anda jika perkataan seperti itu diiringi dengan nada dan irama yang memiliki pengaruh kuat? Mereka juga sepakat tentang diperbolehkannya nyanyian yang baik pada acara-acara gembira, seperti pada resepsi pernikahan, saat menyambut kedatangan seseorang, dan pada hari-hari raya.
Mengenai hal ini terdapat banyak hadits yang sahih dan jelas. Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai nyanyian selain itu (pada kesempatan-kesempatan lain). Diantara mereka ada yang memperbolehkan semua jenis nyanyian, baik dengan menggunakan alat musik maupun tidak, bahkan dianggapnya mustahab. Sebagian lagi tidak memperbolehkan nyanyian yang menggunakan musik tetapi memperbolehkannya bila tidak menggunakan musik. Ada pula yang melarangnya sama sekali, bahkan menganggapnya haram (baik menggunakan musik atau tidak).
Dari berbagai pendapat tersebut, saya cenderung untuk berpendapat bahwa nyanyian adalah halal, karena asal segala sesuatu adalah halal selama tidak ada nash sahih yang mengharamkannya. Kalaupun ada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas) tetapi tidak sahih, atau sahih tetapi tidak sharih. Antara lain ialah kedua ayat yang dikemukakan dalam pertanyaan Anda.
Kita perhatikan ayat pertama: "Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna ..." Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi'in untuk mengharamkan nyanyian.
Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaimana yang dikemukakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia berkata: "Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi:
Pertama: tidak ada hujah bagi seseorang selain Rasulullah saw. Kedua: pendapat ini telah ditentang oleh Sebagian sahabat dan tabi'in yang lain. Ketiga: nash ayat ini justru membatalkan argumentasi mereka, karena didalamnya menerangkan kualifikasi tertentu: "'Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan Jalan Allah itu olok-olokan ..." Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat ini, maka ia dikualifikasikan kafir tanpa diperdebatkan lagi. Jika ada orang yang membeli Al Qur'an (mushaf) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya bahan olok-olokan, maka jelas-jelas dia kafir. Perilaku seperti inilah yang dicela oleh Allah. Tetapi Allah sama sekali tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya - bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Demikian juga orang yang sengaja mengabaikan shalat karena sibuk membaca Al Qur'an atau membaca hadits, atau bercakap-cakap, atau menyanyi (mendengarkan nyanyian), atau lainnya, maka orangtersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah.
Lain halnya jika semua itu tidak menjadikannya mengabaikan kewajiban kepada Allah, yang demikian tidak apa-apa ia lakukan."Adapun ayat kedua:"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidakbermanfaat, mereka berpaling daripadanya ..."
Penggunaan ayat ini sebagai dalil untuk mengharamkan nyanyian tidaklah tepat, karena makna zhahir "al laghwu" dalam ayat ini ialah perkataan tolol yang berupa caci makidan cercaan, dan sebagainya, seperti yang kita lihat dalam lanjutan ayat tersebut. Allah swt. berfirman: "Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul denganorang-orang jahil." (A1 Qashash: 55)
Ayat ini mirip dengan firman-Nya mengenai sikap 'ibadurrahman (hamba-hamba yang dicintai Allah Yang Maha Pengasih):
"... dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik." (Al Furqan: 63)Andaikata kita terima kata "laghwu" dalam ayat tersebut meliputi nyanyian, maka ayat itu hanya menyukai kita berpaling dari mendengarkan dan memuji nyanyian, tidak mewajibkan berpaling darinya.
Kata "al laghwu" itu seperti kata al bathil, digunakan untuk sesuatu yang tidak ada faedahnya, sedangkan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah tidaklah haram selama tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.
Diriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa Rasulullah saw. memperbolehkan mendengarkan sesuatu. Maka ditanyakan kepada beliau: "Apakah yang demikian itu pada hari kiamat akan didatangkan dalam kategori kebaikan atau keburukan?" Beliau menjawab, "Tidak termasuk kebaikan dan tidak pula termasuk kejelekan, karena ia seperti al laghwu, sedangkan Allah berfirman: "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yangtidak dimaksud (untuk bersumpah) ..." (Al Ma'idah: 89)
Imam Al Ghazali berkata: "Apabila menyebut nama Allah Ta'ala terhadap sesuatu dengan jalan sumpah tanpa mengaitkan hati yang sungguh-sungguh dan menyelisihinya karena tidak ada faedahnya itu tidak dihukum, maka bagaimana akan dikenakan hukuman pada nyanyian dan tarian? "Saya katakan bahwa tidak semua nyanyian itu laghwu, karena hukumnya ditetapkan berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik menjadikan sesuatu yang laghwu (tidak bermanfaat) sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) danal mizah (gurauan) sebagai ketaatan. Dan niat yang buruk menggugurkan amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara batin merupakan riya'.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu, tetapi ia meIihat hatimu." (HR Muslim dan Ibnu Majah)
Baiklah saya kutipkan di sini perkataan yang disampaikan oleh Ibnu Hazm ketika beliau menyanggah pendapat orang-orang yang melarang nyanyian.
Ibnu Hazm berkata: "Mereka berargumentasi dengan mengatakan: apakah nyanyian itu termasuk kebenaran, padahal tidak ada yang ketiga?
1 Allah SWT berfirman: "... maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan ..." (Yunus, 32)
Maka jawaban saya, mudah-mudahan Allah memberi taufiq, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya tiap-tiap orang (mendapatkan) apa yang ia niatkan."
Oleh karenanya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya untuk berbuat maksiat kepada Allah Ta'ala berarti ia fasik, demikian pula terhadap selain nyanyian. Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk menghibur hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang yang taat dan baik, dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat untuk taat juga tidak untuk maksiat, maka mendengarkan nyanyian itu termasuk laghwu (perbuatan yang tidak berfaedah) yang dimaafkan. Misalnya, orang yang pergi ketaman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya dengan membuka kancing baju, mencelupkan pakaian untuk mengubah warna, meluruskan kakinya atau melipatnya, dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya."
2 Adapun hadits-hadits yang dijadikan landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya memiliki cacat, tidak ada satu pun yang terlepas dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau kedua-duanya. AlQadhi Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya AlHakam: "Tidak satu pun hadits sahih yang mengharamkannya."
Demikian juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwidalam Al Umdah. Bahkan Ibnu Hazm berkata: "Semua riwayat mengenai masalah (pengharaman nyanyian) itu batil dan palsu."
Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah gugur, maka tetaplah nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal. Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash sahih yang menghalalkannya?
Dalam hal ini cukuplah saya kemukakan riwayat dalam shahih Bukhari dan Muslim bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi saw., ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya seraya berkata: "Apakah pantas ada seruling setan di rumah Rasulullah?" Kemudian Rasulullah saw. menimpali: "Biarkanlah mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya. "Disamping itu, juga tidak ada larangan menyanyi pada hari selain hari raya. Makna hadits itu ialah bahwa hari raya termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan nyanyian, permainan, dan sebagainya yang tidak terlarang.
Akan tetapi, dalam mengakhiri fatwa ini tidak lupa saya kemukakan beberapa (ikatan) syarat yang harus dijaga:
1. Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam. Nyanyian yang berisi kalimat "dunia adalah rokok dan gelas arak" bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji, termasuk perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya, penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu sendiri jelas menimbulkan dharar. Begitupun nyanyian-nyanyian yang seronok serta memuji-muji kecantikan dan kegagahan seseorang, merupakan nyanyian yang bertentangan dengan adab-adab Islam sebagaimana diserukan oleh Kitab Sucinya: "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya ..." (An Nur: 30)"
Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya ..." (An Nur: 31)
Dan Rasulullah saw. bersabda: "Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh melakukan pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua adalah risiko bagimu." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Demikian juga dengan tema-tema lainnya yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran dan adab Islam.
2. Penampilan penyanyi juga harus dipertimbangkan. Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak "kotor," tetapi penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada yang sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud membangkitkan nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram, seperti yang didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan yang tidak sopan. Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri Nabi saw.: "Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yeng ada penyakit dalam hatinya ..."(Al Ahzab: 32)
3. Kalau agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu termasuk dalam ibadah, maka bagaimana menurut pikiran Anda mengenai sikap berlebih-lebihan dalam permainan (sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita waktu, meskipun pada asalnya perkara itu mubah? Ini menunjukkan bahwa semua itu dapat melalaikan hati manusia dari melakukan kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan mendalamnyaapa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa': "Saya tidak melihat israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti ada hak yang terabaikan."
Comments :
Posting Komentar