“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya“. [Al-Baqarah : 268]
Zina adalah suatu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan. Hal ini adalah sesuai dengan firman Allah swt dalam Al Qur’an surah Al Israa ayat 32. Ayat ini dengan sangat tegas menyatakan bagaimana Allah bagaimana zina itu. Sedangkan untuk mendekatinya saja Allah telah melarangnya, dan suatu larangan adalah dosa jika hal itu dilakukan. Dan bagaimana Rasulullah sangat menganjurkan pernikahan untuk menghindarkan ummatnya terjerumus dalam perilaku zina tersebut. Dan anjuran berpuasa untuk menahan segala nafsu, termasuk syahwat, agar setiap insan dapat menjauhkan dirinya dari perilaku zina.
Sanksi dan hukuman atas perilaku zina tersebut juga sangat keras sesuai dengan tegasnya larangan Allah swt. Sebagaimana yang djelaskan oleh Allah swt dalam Al Qur’an surah An Nuur ayat 2, orang-orang yang melakukan zina didera 100 kali. Malah Rasulullah pernah memberikan rajam sampai mati bagi Ghomidiyah, sebagai ganjaran baginya karena melakukan zina padahal dia sudah menikah.
Mengenai perbuatan zina, bagaimana hukum yang berkaitan dengan sepasang pezina? Jika sepasang pezina menghasilkan seorang anak dari perbuatan zina mereka, Bagaimanakah status anak tersebut? Apakah anak itu berhak menerima warisan dari laki-laki yang memiliki benih? Siapa saja yang berhak menjadi wali nikah anak tersebut?
A. Hukum-hukum bagi Pezina
Sepasang pezina yang ingin menikah.
Jika sepasang pezina hendak menikah, baik dengan pasangan zinanya maupun dengan orang lain, haruslah dia bertaubat dengan bersungguh-sungguh, sekiranya agar Allah swt memasukkannya dalam golongan orang-orang yang bukan pezina. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surah An Nuur ayat 3,
لزَّانِي لاَ يَنْكِحُ إلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Artinya:
“Laki-laki pezina tidaklah menikahi selain wanita pezina atau wanita musyrik, dan wanita pezina tidaklah menikahi selain lelaki pezina atau lelaki musyrik, dan hal itu diharamkan atas kaum mukminin.”
Jika seorang wanita yang berzina hendak menikah, dan ragu bahwa benih si laki-laki yang berzina dengannya ada dalam rahimnya, dia hendaknya melakukan istibra` yaitu pembebasan rahim dari bibit lelaki yang telah berzina dengannya. Karena dikhawatirkan lelaki tersebut telah menanam bibitnya dalam rahim wanita itu. Artinya, wanita itu hamil akibat perzinaan itu. Maka wanita itu harus melakukan istibra` untuk memastikan bahwa rahimnya kosong (tidak hamil), yaitu menunggu sampai dia mengalami haid satu kali karena dengan demikian berarti dia tidak hamil. Apabila diketahui bahwa dia hamil maka istibra`-nya dengan cara menunggu sampai dia melahirkan anaknya.
Hal ini seperti yang diriwayatkan Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah saw bersabda tentang sabaya (para wanita tawanan perang) pada perang Khaibar:
لاَ يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ –يَعْنِي إِتْيَانَ الْحُبْلَى مِنَ السَّبَايَا- وَأَنْ يُصِيبَ اْمَرْأَةً ثَيِّبًا مِنَ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا
“Tidak halal bagi seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air maninya di ladang orang –yakni menggauli wanita sabaya yang hamil– dan menggauli wanita sabaya yang telah bersuami sampai wanita itu melakukan istibra`.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Status dari Anak Hasil Zina
1. Hak atas anak tersebut.
Anak hasil zina tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak tersebut meskipun kita mengetahui bahwa secara hukum kauni qadari anak zina tersebut adalah anaknya. Dalam arti, Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan terciptanya anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki-laki itu dengan wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum syar’i, anak itu bukan anaknya karena tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh syariat, yaitu perzinaan. Hal ini sebagaimana yang sabda Rasulullah saw, dari Abu Hurairah ra dan `Aisyah
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda, yang artinya,
“Siapa saja laki-laki yang berzina dengan wanita merdeka atau wanita budak, maka anaknya adalah anak zina (waladu zina), yang tidak mewarisi [laki-laki itu] dan tidak diwarisi [oleh laki-laki itu].” (HR Tirmidzi).
Dari kedua hadits di atas dengan jelas dinyatakan bahwa seorang laki-laki tidak berhak atas anak zinanya begitu pula sebaliknya. Sehingga hak nasab itu diberikan kepada Ibunya.
2. Hak waris anak tersebut.
Seperti yang ditegaskan dalam hadits Rasulullah saw di atas, bahwa seorang anak zina (anak dihasilkan dari perbuatan di luar pernikahan yang sah), maka anak tersebut tidak berhak mewarisi maupun diwarisi oleh Bapaknya (laki-laki yang menzinai ibunya).
3. Wali Nikah anak tersebut.
Seorang anak zina tidak berhak memiliki perwalian nikah dari Bapaknya (laki-laki yang menzinai ibunya). Dan anak-anak yang lahir setelah pernikahan yang sah juga tidak memiliki hak menjadi wali nikah atas saudaranya yang merupakan anak zina. Walaupun begitu, mereka merupakan mahram, karena mereka adalah saudara seibu tidak seayah.
Jadi yang berhak menjadi wali anak tersebut adalah Sulthan. Sulthan adalah imam (amir) ataupun perwakilan dalam hal ini pernikahan. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ … فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Artinya:
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil…, dan jika para wali berselisih untuk menikahkannya maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Wallahu a’lam…
Sumber:
Comments :
Posting Komentar